10 Desember 2008

Intisari Pemikiran Islam tentang Ekonomi

PENDAHULUAN
 Dalam mempertahankan hidupnya, manusia diberi kebebasan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebebasan merupakan unsure dasar manusia dalam mengatur dirinya dalam memenuhi kebutuhan yang ada. Namun kebebasan manusia ini tidak berlaku mutlak, kebebasan itu dibatasi oleh kebebasan manusia lain. Bila antara manusia melanggar batas kebutuhan antara sesamanya akan terjadi konflik . Manusia tidak bias mendominasi kebenaran, dan tidak ada kebenaran mutlak dari kehidupan manusia, demikian pula tidak ada kesalahan fatal. Karena ketiadaan hak kebenaran mutlak inilah, maka manusia perlu pedoman yang nyata untuk menuju kebenaran, yaitu dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Yang merupakan tuntunan dasar agama Islam. Dalam Islam, hubungan etika dengan ekonomi sangatlah jelas. Fiqh Mu’amalah adalah salah satu rumusan etika ekonomi yang sengaja disusun oleh sarjana klasik sebagai norma tertulis yang mengatur jalannya transaksi, mana yang boleh dan mana yang dilarang.
Dalam konteks sosial-ekonomi, ajaran Islam bersifat dinamis serta keberpihakannya pada keadilan sosial bersifat mutlak. Hal ini karena ketidak adilan akan merusak tatanan sosial serta bertentangan dengan moralitas. Dalam perspektif Islam untuk mewujudkan struktur sosial, motivasinya harus didasarkan pada filsafat moral yang benar. Kesenjangan ekonomi juga semakin tajam, kemiskinan dan pengangguran yang semakin menggurita. Pendeknya, kemakmuran dan kesejahteraan berlangsung secara tidak adil. Di bawah dominasi kapitalisme, kerusakan ekonomi terjadi di mana-mana. Dalam beberapa tahun terakhir ini, perekonomian dunia tengah memasuki suatu fase yang sangat tidak stabil dan masa depan yang sama sekali tidak menentu. Setelah mengalami masa sulit karena tingginya tingkat inflasi, ekonomi dunia kembali mengalami resesi yang mendalam, tingkat pengangguran yang parah, serta fluktuasi nilai tukar yang tidak sehat. Tidak terhitung banyaknya para pakar ekonomi Barat yang mengkritik sistem ekonomi kapitalisme dan mendesak dilakukannya perubahan paradigma ke arah paradigma yang adil dan manusiawi.

PEMBAHASAN
Umat manusia dibawah kepemimpinan barat, telah mengalami empat ideology ekonomi utama dalam kurun waktu tiga ratus tahun terakhir, yaitu kapitalisme, sosialisme, nasionalisme fasisme dan Negara kesejahteraan (welfare state). Semua ideology tersebutdidasarkan secara fundamental dan corak pada premis barat bahwa agama dan moralitas tidak relevan untuk mengatasi problem-problem ekonomi umat manusia, sehingga urusan-urusan ekonomi lebih tepat kalau dipecahkan dengan menggunakan hukum-hukum perilaku ekonomi dan bukan ajaran moral tertentu.
Dengan melihat realita di atas, jelas ada ”something wrong” dalam konsep-konsep yang selama ini diterapkan di berbagai negara, termasuk Indonesia, karena kelihatan masih jauh dari yang diharapkan. Konsep-konsep tersebut terlihat tidak memiliki konstribusi yang cukup signifikan, bahkan bagi negara-negara pencetus konsep tersebut. Ini terbukti dari ketidakmampuan direalisasikannya sasaran-sasaran yang diinginkan seperti pemenuhan kebutuhan dasar, kesempatan kerja penuh (full employment) dan distribusi pendapatan dan kekayaan merata.
Konsep-konsep tersebut juga dianggap gagal, karena menyuburkan budaya eksploitasi manusia atas manusia lainnya, kerusakan lingkungan serta melupakan tujuan-tujuan moral dan etis manusia. Singkatnya, konsep yang ditawarkan Barat, bukanlah pilihan tepat apalagi dijadikan prototype bagi negara-negara yang sedang berkembang. Namun demikian kita tak boleh menafikan bahwa pengalaman dari ekonomi pembangunan yang telah berkembang itu banyak yang bermanfaat dan penting bagi kita dalam membangun, meskipun relevansinya sangat terbatas.
Sistem kapitalis maupun sosialis jelas tidak sesuai dengan sistem nilai Islam. Keduanya bersifat eksploitatif dan tidak adil serta memperlakukan manusia bukan sebagai manusia. Kedua sistem itu juga tidak mampu menjawab tantangan ekonomi, politik, sosial dan moral di zaman sekarang. Hal ini bukan saja dikarenakan ada perbedaan ideologis, sikap moral dan kerangka sosial politik, tetapi juga karena alasan-alasan yang lebih bersifat ekonomis duniawi, perbedaan sumberdaya, stuasi ekonomi internasional yang berubah, tingkat ekonomi masing-masing dan biaya sosial ekonomi pembangunan.

SISTEM-SISTEM EKONOMI DUNIA
Tiga system ekonomi yang dominant pada saat ini adalah, kapitalisme, sosialisme dan gabungan dari dua muara itu yaitu Negara kesejahteraan. Masing-masing telah mengalami revisi yang signifikan dari versi aslinya karena berbagai problem yang dihadapinya dalam kurun waktu yang lama dan juga karena perubahan-perubahan yang dilakukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Berikut ini adalah gaya dan system ekonomi tersebut:
A. Kapitalisme
Konsep kapitalis tentang keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan, tidak didasarkan pada komitmen spiritual dan persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia. Komitmen penegakkan keadilan sosio ekonomi lebih merupakan akibat dari tekanan kelompok. Karenanya, sistem kapitalisme terutama yang berkaitan dengan uang dan perbankan, tidak dimaksudkan untuk mencapai tujuan – tujuan keadilan sosio ekonomi yang berdasarkan nilai transendental (spritual) dan persaudaraan universal. Sehingga, tidak aneh, apabila uang masyarakat yang ditarik oleh bank konvensional (kapitalis) dominan hanya digunakan oleh para pengusaha besar (konglomerat). Lembaga perbankan tidak dinikmati oleh rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk sebuah negara. Fenomena ini semakin jelas terjadi di Indonesia. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan miskin makin miskin. Ketidakadilan pun semakin lebar. Sebagaimana disebut di atas, konversi ekonomi Barat (terutama kapitalisme) kepada penegakan keadilan sosio ekonomi, merupakan akibat tekanan-tekanan kelompok masyarakat dan tekanan-tekanan politik. Untuk mewujudkan keadilan sosio-ekonomi itu mereka mengambil beberapa langkah, terutama melalui pajak dan transfer payment.
Ada satu aspek yang menjadi ciri kapitalisme sebagai frame-work sosio-ekonomi yaitu, kapitalisme bukan sekedar suatu system ekonomi saja, tetapi sebagai suatu setting cultural yang lebih luas, didalamnya ada tindakan mengejar kekayaan merupakan suatu kebanggaan bahkan merupakan suatu tujuan dalam kehidupan berekonominya. Dengan demikian, mengejar keuntungan pribadi dengan prinsip ekonomi dengan modal yang sekecil-kecilnya dapat menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Usaha kapitalis ini didukung oleh nilai-nilai kebebasan untuk memenuhi kebutuhan. Pemahaman ini didasari oleh filosofi Adam Smith, bahwa terselenggaranya keseimbangan pasar dikarenakan manusia mementingkan diri sendiri. Mekanisme pasar yang dimetamorfosiskan dengan tangan ghaib (invisible hand) akan mengatur bagaimana jalannya keseimbangan antara penawaran dan permintaan dipasar.
Dengan demikian, system ekonomi kapitalisme ini mempunyai beberapa kecenderungan sebagai berikut:
1. Kebebasan memiliki harta secara perorangan
2. Kebebasan ekonomi dan persaingan bebas
3. Ketimpangan ekonomi
B. Sosialisme
System ekonomi sosialis lebih menekankan pada suatu mimpi yang menempatkan rakyat biasa sebagai pengendali kekuasaan baik secara paksa maupun demokratis dari tangan kaum kapitalis. Mereka ingin menciptakan suatu masyarakat demokratis dan egaliter, bebas dari konflik kelas dan didasarkan pada perencanaan komkomprehensif dan control public terhadap sarana-sarana produksi. Filosofis ekonomi sosialis adalah bagaimana bersama-sama mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran. Pemikiran awal sosialis meletakkan unsure kemanusiaan pada posisi paling tinggi, lebih tinggi dari alat produksi. Bila alat produksi menguasai manusia maka manusia akan kehilangan esensi kemanusiaannya.
Dalam system ekonomi sosialisme mempunyai beberapa kecenderungan sebagai berikut:
1. Pemilikan harta oleh Negara
2. Kesamaan ekonomi
3. Disiplin politik
4. Peranan individu yang sedikit, bahkan tidak memiliki peran sama sekali
5. Manusia terikat pada beban tanggungjawab kolektif yang berlebihan, sehingga menghancurkan kebebasan manusia
C. Welfare State (Negara berkesejahteraan)
Pada dasarnya, Negara kesejahteraan berlandaskan pada dictum:”Dari setiap orang menurut kemampuannya dan kepada setiap orang yang membutuhkannya.” Untuk persyaratan tersebut diatas, ajaran Negara kesejahteraan menetapkan penciptaan pranata yang memberikan jamin an untuk memenuhi kedua aturan dasar ini:
1. Produksi harus diluaskan ke berbagai sector ekonomi, untuk menyamakan produktivitas sosial diantara mereka.
2. Distribusi pendapatan diantara semua konsumen harus dilakukan untuk menyamakan kegunaan konsumsi mereka.

SISEM EKONOMI ISLAM
Keadilan merupakan pilar terpenting dalam ekonomi Islam. Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh Al-Qur’an sebagai misi utama para Nabi yang diutus Allah (QS.57:25), termasuk penegakkan keadilan ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan. Allah yang menurunkan Islam sebagai sistem kehidupan bagi seluruh umat manusia, menekankan pentingnya penegakan keadilan dalam setiap sektor, baik ekonomi, politik maupun sosial. Komitmen Al-Quran tentang penegakan keadilan sangat jelas. Hal itu terlihat dari penyebutan kata keadilan di dalam Al-quran mencapai lebih dari seribu kali, yang berarti ; kata urutan ketiga yang banyak disebut Al-Quran setelah kata Allah dan ‘Ilm. Bahkan, Ali Syariati menyebutkan, dua pertiga ayat-ayat Al-Quran berisi tentang keharusan menegakkan keadilan dan membenci kezhaliman, dengan ungkapan kata zhulm, itsm, dhalal, dll (Majid Kahduri, The Islamic Conception of Justice (1984), hlm 10). Karena itu, tujuan keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan / kesejahteraan, dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari filsafat moral Islam
Keadilan sosio ekonomi dalam Islam, selain didasarkan pada komitmen spritual, juga didasarkan atas konsep persaudaraan universal sesama manusia. Al-Quran secara eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan persaudaraan tersebut. Sebuah masyarakat Islam yang ideal mesti mengaktualisasikan keduanya secara bersamaan, karena keduanya merupakan dua sisi yang sama yang tak bisa dipisahkan. Dengan demikian, kedua tujuan ini terintegrasi sangat kuat ke dalam ajaran Islam sehingga realisasinya menjadi komitmen spritual (ibadah) bagi masyarakat Islam.
Komitmen Islam yang besar pada persaudaraan dan keadilan, menuntut agar semua sumber daya yang menjadi amanat suci Tuhan, digunakan untuk mewujudkan maqashid syari’ah, yakni pemenuhan kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar (primer), seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Persaudaraan dan keadilan juga menuntut agar sumberdaya didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat, infaq, sedekah, pajak, kharaj, jizyah, cukai ekspor-impor dan sebagainya.
Tauhid yang menjadi fondasi utama ekonomi Islam, mempunyai hubungan kuat dengan konsep keadilan sosio-ekonomi dan persaudaraan. Ekonomi Tauhid yang mengajarkan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak dan manusia hanyalah sebagai pemegang amanah, mempunyai konsekuensi, bahwa di dalam harta yang dimiliki setiap individu terdapat hak-hak orang lain yang harus dikeluarkan sesuai dengan perintah Allah, berupa zakat, infaq dan sedekah dan cara-cara lain guna melaksanakan pendistribusian pendapatan yang sesuai dengan konsep persaudaraan umat manusia.
Sistem keuangan dan perbankan serta kebijakan moneter, misalnya, dirancang semuanya secara organis dan terkait satu sama lain untuk memberikan sumbangan yang positif bagi pengurangan ketidak-adilan dalam ekonomi dalam bentuk pengucuran pembiayaan (kredit) bagi masyarakat dan memberikan pinjaman lunak bagi masyarakat ekonomi lemah melalui produk qardhul hasan.
Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan sosial ekonomi, Islam secara tegas mengecam konsentrasi asset kekayaan pada sekelompok tertentu dan menawarkan konsep zakat, infaq, sedeqah, waqaf dan institusi lainnya, seperti pajak, jizyah, dharibah, dan sebagainya. Al-Quran dengan tegas mengatakan, “Supaya harta itu tidak beredar di kalangan orang kaya saja di antara kamu” (QS. 59:7), “Di antara harta mereka terdapat hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun yang orang miskin malu meminta-minta” (QS. 70:24).
Dalam ekonomi syari’ah, dikotomi sektor moneter dan riil tidak dikenal. Sektor moneter dalam definisi ekonomi Islam adalah mekanisme pembiayaan transaksi atau produksi di pasar riil, sehingga jika menggunakan istilah konvensional, maka karakteristik perekonomian Islam adalah perekonomian riil, khususnya perdagangan. Inilah yang dianjurkan Islam, ”Allah menghalalkan jual beli (perdagangan) dan mengharamkan riba”.(QS.2:275). Ayat tersebut secara tegas membolehkan jual-beli atau perdagangan dan mengharamkan riba. Jual beli atau perdagangan adalah kegiatan bisnis sektor riel. Kegiatan bisnis sektor keuangan tanpa dikaitkan dengan sektor riil adalah aktivitas ribawi yang dilarang dalam ekonomi Islam.
Oleh karena keharusan terkaitnya sektor moneter dan sektor riil, maka perbankan syari’ah mengembangkan sistem bagi hasil, jual beli dan sewa. Dalam bagi hasil, terdapat bisnis sektor riil yang dibiayai dengan pembagian keuntungan yang fluktuatif. Demikian pula dalam jual beli, ada sektor riil yang mendasari kebolehan penambahan (ziyadah) dalam harta. Dalam ekonomi syari’ah sistem bagi hasillah (profit and loss sharing) yang kemudian menjadi jantung dari sektor ‘moneter’ Islam, bukan bunga. Karena sesungguhnya, bagi hasil sebenarnya sesuai dengan iklim usaha yang memiliki kefitrahan untung atau rugi. Tidak seperti karakteristik bunga yang memaksa agar hasil usaha selalu positif. Islam tidak mengenal konsep time value of money, Jadi penerapan sistem bagi hasil pada hakikatnya menjaga prinsip keadilan tetap berjalan dalam perekonomian. Karena memang kestabilan ekonomi bersumber dari prinsip keadilan yang dipraktikkan dalam perekonomian.
Ekonomi Islam bukan saja menjanjikan kestabilan “moneter” tetapi juga pembangunan sektor riil yang lebih kokoh. Krisis moneter yang telah menjelma menjadi krisis multi dimensi di Indonesia ini, tak dapat diobati dengan varibel yang menjadi sumber krisis sebelumnya, yaitu sistem bunga dan utang, artinya tidak bisa dengan mengutak-atik suku bunga tetapi harus oleh variabel yang jauh dari karakteristik itu, yaitu dengan sistem bagi hasil dalam dunia perbankan dan lembaga finansial lainnya.

Prinsip-prinsip Ekonomi dalam Islam
Prinsip ekonomi dalam Islam merupakan kaidah-kaidah pokok yang membangun struktur atau kerangka ekonomi Islam yang digali dari Al-Quran dan Sunnah. Prinsip ekonomi ini berfungsi sebagai pedoman dasar bagi setiap individu dalam berperilaku ekonomi untuk mencapai falah (kesejahteraan).
Berikut prinsip-prinsip yang akan menjadi kaidah-kaidah pokok yang membangun struktur dan kerangka ekonomi Islam.
a) Kerja (resource utilization)
b) Kompensasi (Compensation)
c) Efisiensi
d) Profesionalisme
e) Kecukupan (Sufficiency)
f) Kebebasan
g) Kerjasama
h) Persaingan
i) Keseimbangan
j) Solidaritas
k) Pemerataan Kesempatan (Equal opportunity)
Secara umum Prinsip Ekonomi dalam Islam sangat sinkron dengan nilai-nilai sosio-kultural. Sinkronisasi tersebut meliputi nilai-nilai berikut ini :
1. Nilai Ilahiah (ketuhanan)
2. Nilai Khilafah (Kepemimpinan)
3. Nilai Tawazun (Keseimbangan)
4. Nilai ‘Adalah (Keadilan)
5. Nilai Maslahah (Kemaslahatan)
Sedangkan menurut Naqvi, Nilai-nilai etik yang terkandung dalam ekonomi Islam meliputi nilai kesatuan (Tauhid), Keseimbangan/kesejahteraan (al-‘Adl wal Ihsan), kehendak bebas (ikhtiyar) dan tanggungjawab (fardh).
Dengan penjelasan diatas, nampak jelaslah bahwa moral (akhlaq) menempati urutan penting dalam prilaku ekonomi islam. Akhlak merupakan puncak tujuan dari seluruh ajaran Islam, hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad saw,’ sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak. Akhlak lahir dari konsekuensi dari rukun Iman dan rukun Islam.

PENUTUP
Demikianlah gambaran singkat tentang prinsip-prinsip ekonomi menurut Islam, yang bila kita kaji lebih mendalam, dapat kita temukan beberapa perbedadan yang ssangat signifikan dengan system ekonomi konvensional yang diwakili oleh system Kapitalisme, Sosialisme dan Welafare state.
Ekonomi Islam pada dasarnya merupakan aktualisasi nilai-nilai Islam dalam aktifitas kehidupan manusia dalam rangka mewujutkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Keberadaan ekonomi Islam tidak lain bertujuan mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Tujuan tersebut dalam pandangan para ahli dijabarkan dalam 3 permasalah pokok yang terdiri atas pertama mewujudkan pertumbuhan ekonomi dalam Negara, kedua mewujudkan kesejahteraan manusia dan ketiga mewujudkan mekanisme distribusi kekayaan yang adil.


DAFTAR PUSTAKA
Chapra, Umer,”Islam dan Tantangan Ekonomi,”Jakarta, Gema Insani Press, 2006
Hamid, Arifin,” Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syari’ah) di Indonesia’. Bogor, Penerbit Ghalia, 2007

http://agustianto.blogspot.com
Naqvi, Syed Nawab Haider, ,”Etika dan Ilmu Ekonomi, Suatu Sintesis Islami’, Bandung, Mizan.1993

Naqvi, Syed Nawab Haider,”Menggagas Ilmu EkonomiIslam,”. Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2003

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), ‘ Ekonomi Islamí”. Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2008
Sudarsono, Heri,” Konsep Ekonomi Islam, Suatu Pengantar,”Jogjakarta, Ekonosia, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aspirasi dan Feed Back anda, sangat diharapkan.